Jam weker di kamarku sudah menunjukkan pukul 23.34 tapi pelupuk mataku tak mau menutup juga. Bukan karena insomnia. Tapi aku merasa ada yang janggal pada diriku. Setelah mendengar cerita Sherin di sekolah tadi aku merasa kesal. Sherin berkenalan secara langsung dengan anak baru itu. Bukan bukan! Bukan karena dia mengkhianati sepupuku, Leon. Tapi ada persaan lain. Aku tak mau langsung mengambil kesimpulan atas apa yang aku rasakan saat ini. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa apa yang aku rasakan semata-mata karena sebal melihat Sherin menjadi ganjen padahal sebelumnya dia tidak seperti itu, apalagi dia memiliki Leon. Walaupun itu sulit diterima oleh perasaanku. Tidak mungkin aku menyukai tiang berjalan itu!
***
Hari ini ada
pertandingan basket antar kelas di sekolahku. Ternyata si anak baru itu main
juga. Membuat setiap cewek di sudut sekolah berkumpul di lapangan, untuk
mendukungnya. Setiap pendukung team rata-rata membawa kertas manila besar yang
berisi kata-kata semangat untuk pemain. Dan ternyata sekitas 80% anak-anak
cewek menulis nama ‘Bagus’ di kertas yang mereka bawa. Aku hanya menghela napas
melihat itu. Perasaan itu muncul lagi. Dan sekarang bukan karena Sherin ataupun
Leon. Alasan genitnya Sherin yang aku buat malam itu tak bisa digunakan lagi
sekarang. Apa ini?Aku menyukainya? Ini
pasti bercanda! Aku berperang melawan hati kecilku. Aku tak mungkin
menyukainya. Aku bahkan tidak menganalnya. Mendengar suaranya hanya sekali saat
dia bilang “sorry” dan aku benci saat dia melengos pergi setelah menabrakku,
aku juga benci saat dia terlihat sok cool dengan iPod. Tapi di sudut hati
kecilku yang paling dalam berkata bahwa Bagus terlihat sangat keren berlari
mendribble bola basket, rambut berantakkannya bergoyang-goyang, wajahnya yang
terselimuti peluh itu sangat mempesona. Sejenak aku termakan oleh rayuan hati
kecilku. Tapi aku sadar bahwa aku tidak akan menyukainya! Aku memilih untuk
pergi meninggalkan lapanga.
Aku duduk di
lorong depan kantin, lorong yang menyambungkan kelas-kelas dengan kamar mandi
laki-laki di ujung lorong. Hari ini Sherin sedang izin sakit, padahal aku tahu
kalau dia sedang menemui Leon. Karena Leon datang dari Bandung pagi tadi.
Mungkin sudah sekitar setengah jam aku duduk disini memerhatikan penjaga kantin
yang wara-wiri di kantin, sambil sesekali tersenyum kepad mereka. Aku
benar-benar tidak mood setelah kejadian di lapangan tadi. Aku berusaha
melupakan kejadian itu tapi tak 100% berhasil. Nampaknya pertandingan sudah
selesai bisa dilihat karena ada beberapa pemain team basket kelas 12 IPA 1
berjalan bolak-balik di depanku menuju kamar mandi dengan peluh di badan
mereka.
Beberapa menit
kemudian, saat aku masih duduk di lorong sambil menggenggam botol minuman
dingin yang sedari tadi aku beli tapi tak kunjung ku minum, ada seseorang yang
duduk di sampingku. Kursi yang aku duduki memang panjang, dan cukup untuk 2-3
orang. Aku menoleh. What?!!! Teriakku
dalam hati. Si tiang berjalan-Bagus-anak baru-itu duduk di sampingku. Aku
terpaku melihatnya mengusap peluh di dahinya. Aku tahu aku salah! Tanpa sadar
aku menyodorkan botol yang sedari tadi kugenggam. Dia menoleh ke arahku. Arggghhh! Bego Pritta bego! Jeritku
dalam hati. Aku coba mencairkan suasana, berusaha tak gugup walaupun mungkin
suara degup jantungku bisa terdengar olehnya.
“Nih. Belum di
minum kok.” Aku menyodorkan botol minuman kepadanya.
Dia hanya
terdiam melihat tanganku dan kembali memandangku “Thanks ya.” Dia tersenyum
sambil mengambil botolnya. Manis sekali!
Kalian tahu?
Jantungku seakan-akan sedang meloncat dan menari-nari di dalam tubuhku. Aku tak
bisa berkata apa-apa. Aku melemparkan senyum balasan kepadanya. Dia meminum
setengah isi botol tersebut dan menoleh kepadaku.
“Eh lo bukannya
yang waktu itu gue tabrak di kantin ya?”
“Eh?” Jawabku spontan karena kaget.
“Sorry ya waktu
itu gue ngeloyor gitu aja. Eh by the way thanks ya nih minumannya. Tau aja gue
males jalan ke kantin padahal nih kantin depan hidung. Hehehe” Ujarnya sambil
tersenyum kuda. Menampilkan gigi-gigi putih yang rapi berjajar.
“Oh hehe iya
ngga apa-apa kok.” Jawabku singkat karena aku benar-benar gugup saat itu.
“Oh iya.” Dia
menyodorkan tangannya. “Gue Bagus.” Dia kembali tersenyum kepadaku.
“Iya gue tau
kok.” Aku menjabat tangannya. “Gue Pritta. Tapi jangan pernah panggil gue Prit
karena gue nggak suka si panggil kaya gitu. Kaya suara peluit polisi di jalan.
Hehe”
“Hahaha. Lo
ada-ada aja.” Kali ini dia tertawa. Lucu sekali seperti ada kumis kucing di
pipinya, entah apa namanya itu.
Aku hanya
tersenyum padanya.
“Eh iya gue ke
wc dulu ya. Ganti baju. Kecut gini gue. Ntar lari lo lagi hehehe.” Candanya
“Dih hahaha
apaan engga kok.”
“Berarti lo suka
sama bau badan gue yang kecut begini ya?”
“Yaelaaah ngga
gitu juga kali. Ya udah sana ganti baju lo!”
“Hahaha becanda
neng.”
Aku melihat punggung Bagus berjalan menjauh
hingga hilang di balik pintu kamar mandi. Sama seperti saat itu-di depan
kantin-tapi bedanya kali ini ada semburat senyum di wajahku. Entah mengapa
perasaan gugup itu hilang saat aku bicara banyak dengannya tadi. Entah mengapa
rasanya nyaman sekali. Dan aku jadi tak mau berhenti senyum mengingat hal yang
barusan terjadi padaku. Dia tidak seperti yang aku bayangkan, dan tidak seperti
yang orang lain katakan. Dia tidak sombong dan dingin.
“Eh lo kok masih disini?” Suara itu
membuyarkan lamunanku. Aku tak sadar ternyata aku masih duduk di lorong selama
Bagus ke kamar mandi tadi, hingga dia kembali lagi. Aku hanya diam sambil
mengangkat kepala melihat wajah Bagus yang tepat berdiri sekitar 30 centimeter
di depanku.
“Eh lo kok diem aja sih?Lo nungguin gue ya?
Hahaha” Ia bergurau membuat wajahku berubah seperti tomat.
“Hah? Pede banget sih huh!” Jawabku sedikit
ketus dan memalingkan wajah untuk menutupi rasa malu.
“Hehe becanda lo mah jutek banget sih jadi
cewek ntar ngga ada yang naksir loh, bisa-bisa jadi perawan tua lo.”
Aku sedikit kesal mendengar komentarnya
barusan. Aku memilih untuk diam saja. Sepertinya Bagus menyadari bahwa aku
kesal, beberapa kali ia coba untuk menggodaku berharap rasa kesalku akan
hilang. Hmm, tapi sebenarnya rasa kesal itu tidak ada apa-apanya di bandingkan
dengan rasa berbunga-bunga yang menyelimuti diriku saat ini. Entah kenapa.
“Ta, yuk kedepan aja. Ntar kita disangka
buat yang engga-engga lagi berdua di pojok sekolah kayak gini.”
“Dih ngarep aja sih lo, Gus.”
Tak seorangpun pernah memanggilku dengan
sebutan ‘Ta’ sebelumnya. Walaupun itu adalah bagian dari namaku. Tapi sebagian orang
memanggilku Pritta atau bahkan yang lebih buruk Prit. Aku tidak keberatan
dipanggil ‘Ta’ setidaknya itu lebih baik daripada ‘Prit’.
Kami-aku dan Bagus-berjalan beriringan
menyusuri lorong-lorong kelas yang di depannya banyak sekali siswa duduk berjajar,
hari ini adalah hari bebas jadi tidak ada jam pelajaran. Entah sudah berapa
puluh pasang mata menatap kami dengan tatapan heran, atau mungkin cemburu.
Wajar saja baru kali ini Bagus jalan beriringan bersama seorang cewek selama ia
pindah ke sekolahku. Ada perasaan senang sekaligus bangga yang berkecamuk di
dadaku saat ini. Rasanya ingin senyum selebar-lebarnya memperlihatkan kepada
semua yang merasa tersaingi.
“Eh Ta, gue balik ya gue lupa ngga bawa baju
ganti nih lagian hari ini kan bebas.”
“Pantesan lo tadi ke wc niat ganti baju tapi
sampe keluar baju lo tetep sama. Kirain gue lo seneng make baju yang basah kuyu
begitu hehe” Aku coba menggodanya.
“Iya gue tau sih lo suka sama bau keringat
gue hahaha.”
Aku Cuma membalas dengan memajukan bibirku
tanda malas berdebat.
“Ta gue boleh ngga minta pin atau nomor lo?
Ya maksdunya kali ada perlu gampang gitu”
Aku cukup terkejut mendengar ucapan Bagus.
Aku hanya tersenyum padanya, lalu mendiktekan nomorku. Setelah itu ia pergi ke
parkiran untuk mengambil motornya dan pulang.
Bolehkan aku menyimpulkan sesuatu? Sekarang
aku yakin bahwa aku menyukainya.
[To be continued..]
Ain