Benar saja!
Orang yang menabrakku di kantin kemarin adalah anak baru itu, dan ternyata
namanya Bagus. Dia sudah menjadi terkenal sekarang, setiap sudut sekolah pasti
tahu siapa Bagus. Padahal ia baru saja 3 hari di sekolah ini. Ketampanannya
membuat setiap cewek di sekolah terkagum-kagum. Terlebih lagi katanya ia pintar
bermain basket. Tapi kesombongannya membuat para laki-laki di sekolah enggan
untuk menjadi temannya. Itulah sebabnya ia menjadi pasif, walaupun banyak cewek
yang menyukainya.
Pelajaran Bahasa
Inggris siang ini sungguh membosankan. Pak Rahmat yang tidak berhenti mengoceh
dengan bahasa asing yang tak terdengar begitu jelas dengan suara khasnya yang
kecil dan agak cempreng sukses mengundang kantukku. Entahlah mengapa hari ini
begitu membosankan bagiku. Tidak seperti hari-hari kemarin. Tidak tahu sudah
berapa batang isi pensil mekanik yang aku habiskan dalam satu mata pelajaran
ini. Aku mencoret-coret bagian belakang buku catatanku. Tanpa ku sadari Sherin
memperhatikanku diam-diam.
“Heh lo kenapa
sih?” Bisiknya
“Gue bete, Sher
si botak ngomong mulu daritadi. Ngantuk gue.”
“Hihihi. Tumben
lo.” Sherin cekikikan
“Iya gatau nih
hari ini bete banget gue. Udah ah gue mau ke wc Sher.”
“Yeee dasar nih
anak bule tapi sama bahasa inggris ga demen.”
"Gue
Pakistan, Sher please deh ngga pake bahasa inggris.”
Iya. Ayahku memang keturunan Pakistan-Indonesia. Jadi
saja wajahku ini sedikit mirip bule. Padahal menurutku hidungku tidak
mancung-mancung amat dan rambutku juga tidak pirang. Tapi, setiap bertemu orang
baru mereka akan tahu bahwa aku adalah keturunan luar.
Setelah berhasil
meninggalkan kelas dengan alasan ingin ke kamar mandi, aku melihat jam tangan
bermotif bunga-bunga yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku. Tinggal
15 menit lagi mata pelajaran si botak-Pak Rahmat-akan habis disusul jam
istirahat kedua. Ku putuskan setelah ke kamar mandi, untuk langsung menuju
kantin. Agar aku kebagian makanan dan tidak berdesak-desakkan dengan siswa
lainnya-seperti pemandangan dua hari lalu.
Dari kejauhan
aku dapat melihat ada seseorang yang sudah tak asing lagi duduk di meja panjang
depan kantin, sendirian. Bagus. Ngapain
anak baru itu nongkrong disana, bukannya ini masih jam pelajaran. Dan
sebelumnya aku tidak dengar suara bel istirahat, batinku. Entah mengapa aku
menjadi penasaran dan peduli kepada orang yang sudah menabrakku tempo lalu.
Kontan saja aku menepuk jidatku karena merasa bodoh. Tak sadar aku menepukkunya
terlalu keras sehingga aku mengaduh sendiri. Aku berjalan menuju kantin sambil
memegang jidatku-seperti habis menabrak tiang- tak peduli dengan seseorang yang
sedang duduk disana. Sebenarnya aku peduli. Karena aku sempat melirik sedikit
ke arahnya saat lewat di depannya, dia sedang memainkan iPod. Huh dasar sok cool ngapain sih make-make
earphone gitu, batinku lagi.
Aku memesan mie
ayam. Sambil menunggu, aku masih melirik ke arah luar, ke arah meja panjang di
depan kantin. Dia masih disana dengan iPod dan earphonenya, tapi kali ini dia
memejamkan matanya mungkin sedang menikmati lagu yang dia dengarkan. Duuuuh!
Kok aku jadi peduli gini sih sama dia! Pesananku siap dan seperti berjanjian
bel istirahat berbunyi. Aku mengeluarkan ponsel dari saku jaket rajutanku, aku
mengirimi Sherin pesan memberitahukan bahwa aku menyasar di kantin dan meminta
dia untuk datang menemaniku makan mie ayam.
***
“Duh Priiiit lo
liat ga tadi si Bagus senyumin gue! Tadi pas di kantin pas kita makan mie
ayam.” Ujar Sherin dengan wajah berbunga-bunga dan senyum yang di buat semanis
mungkin olehnya.
“Nama gue
Pritta!” Jawabku ketus. Lagi-lagi Sherin salah memanggilku. Huuuft.
“Hihi iya iya
Pritta gue lagi seneng banget tau ngga! Lo sih tadi ngga liat. Huh.” Sherin
masih senyum-senyum sendiri dengan wajah berbunga-bunga yang tidak bisa di
sembunyikan.
“Iya gue tau,
Sher. Gue udah denger ratusan kali lo ngomong kaya gitu setelah kita balik dari
kantin tadi!” Aku menjawab Sherin dengan malas.
“Ih lo kenapa
sih? Gue kan lagi seneng. Lo ngga suka gue seneng?”
“Dih apaan sih
Sher. Gue cape tau ga liat senyum lo tuh yang sok-sok manis kaya gitu. Lagian
kan lo udah punya Leon. Ngapain lo masih aja seneng di senyumin tuh anak baru.
Sebel gue. Inget ya sepupu gue tuh sayang banget sama lo. Jangan disakitin
kek!”
Iya pacar Sherin
memang sepupuku. Namanya Leon. Mahasiswa ekonomi semester dua sebuah
universitas swasta di Bandung. Ya, mereka memang menjalani hubungan jarak jauh.
Dan hanya bisa bertemu seminggu sekali. Itupun kalau Leon tidak sibuk, kalaupun
Leon sibuk Sherin yang datang mengunjunginya ke Bandung. Menurutku masih jauh
lebih baik Leon di bandingkan anak baru itu. Bukan karena dia sepupuku. Leon
adalah anak yang baik dan pintar, dia juga ganteng, matanya sipit memakai
kacamata dan kulitnya putih, badannya juga tinggi dan berbentuk. Tidak seperti
anak baru itu, badannya seperti tiang dan rambutnya juga tidak rapi bahkan dia
juga sombong, banyak orang yang tidak suka.
“Iya deh maafin
gue ya Priiit. Abis dia kan banyak yang suka jadi gue jadi gimana gitu deh di
senyumin sama dia. Gue ngga punya perasaan apa-apa kok.” Ujar Sherin dengan
manja.
Aku mencoba
menenangkan hatiku. Dia memanggilku seperti suara peluit polisi, lagi. Aku coba
tidak marah soal itu. “Awas ya lo nyakitin sepupu gue, Sher.”
“Iya gue janji
ga akan nyakitin Leonardo Tjandrawinata sepupu Abelina Prittantia Suroso.” Ucap
Sherin sambil mengacungkan jari kelingking mungilnya. Aku mengaitkan
kelingkingku di kelingkingnya. Dan kami sama-sama tersenyum. Akhirnya jemputan
kami datang berbarengan.
“Bye Priiiiiit.
Hihi.” Teriak Sherin dari kaca mobilnya.
Aku tidak menjawab, karena aku malu
berteriak-teriak seperti itu di depan umum. Lambaian tanganku pada Sherin
sebagai pertanda aku menjawab teriakannya. Sherin tidak marah ataupun kecewa,
karena dia tahu aku malu.
[To be continued..]
Ain