Tuhan, aku ingin sembuh.
[To be continued..]
“Ku baca tulisan
itu di dalam note ponselmu. Air mataku sudah tak bisa tertahan lagi, memaksa
keluar dari pelupuk mataku. Tak sadar air berlinang di pipiku. Memoriku
tentangmu sekelibat melintasi otakku. Tawamu jelas mengiang di telingaku. Air
mataku semakin deras menetes. Hatiku sakit sekali mengingatmu. Tak ada carakah
yang bisa aku lakukan untuk menghadapi ini? Mengapa kamu tega padaku? Aku belum
cukup mengenalmu, tapi kamu sudah pergi.”
***
Kriiiiiing...Kriiiiiiing
Suara jam weker
yang bertengger tepat di depan wajahku benar-benar sukses membuatku
terperanjat. Ku lihat jarum jam terpendek dengan tatapan serius karena
penglihatanku belum fokus saat baru bangun seperti ini. Seketika mataku
membelalak layaknya ingin loncat. Jam menunjukkan pukul 7.40 wib. Dan itu
artinya sekolahku di mulai 20 menit lagi, tapi nyatanya aku masih ada di atas
tempat tidur saat ini. Entah memakai jurus apa dengan sigap aku menyambar
handuk dan segera masuk kamar mandi. Untung saja di dalam kamarku sengaja
disediakan kamar mandi. Sebab orang tuaku malas bergantian kamar mandi denganku
katanya saat mandi aku seperti putri solo.
Seperti
biasanya, aku diantar Kang Sono ke sekolah. Kang Sono adalah supir pribadi
orang tuaku. Dengan perawakan tambun dan kulit sedikit gelap ditambah kumis
tebalnya, Kang Sono bisa merangkap sebagai bodyguard buatku. Awalnya Kang Sono
adalah satpam di kantor Ayah, tetapi ia berhenti kerja karena istrinya di
kampung akan melahirkan. Setelah beberapa minggu pulang ke kampung, Kang Sono
kembali lagi ke tempatnya bekerja tetapi posisinya sudag tergantikan oleh
satpam yang baru. Padahal saat ini, ia sangat membutuhkan uang untuk biaya
persalinan sang istri. Karena iba, ayah memperkerjakannya sebagai satpam
pribadi bagi keluarga hingga saat ini. Aku punya beberapa cerita bersama Kang
Sono. Seperti contohnya dua minggu yang lalu, saat aku akan pergi ke toko buku
bersama Kang Sono, ada beberapa kumpulan anak laki-laki yang berpenampilan
garang menghampiriku yang baru keluar dari mobil. Mereka menggangguku, tetapi
dengan sigap Kang Sono keluar dan menghardik mereka dan alhasil mereka lari
ketakutan. Padahal selama hidupnya Kang Sono tidak pernah memukul orang
sekalipun tetapi berkat badannya semua orang menjadi segan padanya. Tapi, kali
ini bukan ceritaku dan Kang Sono yang aku bahas. Melainkan ceritaku bersama
orang yang menggagumkan yang selalu membuat hatiku berdebar.
***
“Priiiiit!”
Suara yang tidak
asing lagi bagiku. Suara yang selalu memekakkan telinga. Siapa lagi kalau bukan
Sherin, sahabatku dari SD.
“Apaan sih,
Sher? Bisa ngga sih lo kalau manggil tuh yang bener dikit. Nama gue Pritta!”
Aku sangat benci
saat orang-orang memanggil namaku setengah-setengah, seperti Sherin yang selalu
memanggilku dengan sebutan ‘Prit’ seperti seorang polisi yang meniup peluitnya.
“Haha sorry lah,
Prit eh maksud gue Pritta cantik hihi. Gue mau pulang bareng aja sama lo ntar.
Bisa kan? Abang gue ngga bisa jemput hehe”
“Ah lo mah gue
pikir ada berita heboh apaan!” Jawabku sedikit ketus.
Aku berjalan
melewati lorong panjang bersama Sherin menuju parkiran, mendengarkan
cerita-ceritanya bersama kekasih barunya. Cewek imut yang selalu menguncir
rambut ini memang cerewet sejak SD. Tidak heran, karena ia mempunyai dua buah
tahi lalat di dekat bibirnya. Dan kini kami masih sekolah di SMA yang sama
walaupun sempat beda kelas tapi kami ngotot untuk dipindahkan di kelas yang
sama. Bagiku Sherin ini penghibur bagiku saat aku sedang merasa sedih. Dia
semacam moodbooster bagiku.
“Eh, Prit! Lo
tau nggak?”
“Nama gue
Pritta! Kenapa?”
“Iya iya PRITTA!
Ada anak baru di kelas IPA 2. Cowok. Ganteng banget katanya. Tapi pasif gitu
anaknya.” Ujar Sherin dengan mata yang di lebar-lebarkan
“Ah gosip aja
lo! Lo udah liat anaknya?”
“Udah! Dan bener
aja ganteng banget!”
“Lo naksir ya?
Ih lo kan udah punya pacar, Sher” Ucapku menggoda sahabatku ini.
“Ah rese lo!
Engga! Gue ngga naksir!”
“Hahahaha”
Tawaku meledak
karena sukses mengerjainya sekaligus melihat muka Sherin menjadi memerah.
Obrolan kecil kami di dalam mobil pun berlanjut
hingga tiba di depan rumah berpagar kayu coklat.
“Daaaa. Thanks
ya Priiiiit! Hihi. Besok lo kudu liat tuh cowo. Titik! Makasih juga Kang Sono.
Bye!” Teriak Sherin sambil menutup pintu mobil. Aku hanya bisa membenamkan
wajah kesalku karena panggilan Sherin barusan.
Setelah sekolah
berakhir, aku kembali ke rumah. Dan hidpuku berjalan seperti biasanya sebagai
anak tunggal. Tidak ada yang istimewa di dalam rumah besar yang selalu
ditinggalkan karena orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan.
***
Hari ini kantin
sekolahku terlihat begitu ramai. Di mana-mana orang berdesak-desakkan ingin
membeli makanan. Aku melihatnya saja sudah lelah, jadi aku putuskan untuk
berdiri di depan kantin dengan tangan di silangkan di dada dan mulut sedikit
manyun, inilah tandanya jika aku sedang kesal. Bagaimana tidak, pagi ini aku
tidak sempat sarapan apalagi menyiapkan bekal. Aku bangun kesiangan lagi.
Padahal sekolahku ini adalah salah satu sekolah favorit di Jakarta Pusat tetapi
servicenya sama saja seperti pasar. Saat sedang asik dengan kekesalanku
mengenai kantin, ada seseorang yang menabrakku dari belakang. Kontan rasa
kesalku memuncak. Dengan sigap aku membalikkan badan dan mebentaknya.
“Kalau jalan
hati-hati dong!”
Aku sedikit terkejut
setelah melihat wajahnya. Seorang laki-laki tinggi, berkulit putih dan rambut
yang sengaja ditata seperti jambul, ia memakai sweater biru laut dan sebuah
earphone tergantung di kuping dan lehernya. Dia sangat cool. Ia terlihat asing
bagiku. Dalam hatiku aku bertanya Siapakah
orang ini? Aku tidak pernah melihatnya selama tiga tahun aku bejar disekolah
ini. Apakah dia anak baru yang Sherin ceritakan?
“Sorry.” Jawabnya dengan
tatapan sinis dan kembali berjalan menjauhiku. Hingga aku hanya dapat menatap
punggungnya saja yang semakin jauh hilang di tengah keramaian.
[To be continued..]
Ain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar