“To live a creative life we must lose our fear of being wrong. Thank you for visit "Catatan Ain". I hope you can find what you want. -Ain-

Sabtu, 14 Februari 2015

Still You #4


    Sudah seminggu berlalu semenjak kita berkenalan di lorong depan kantin. Dan sejak saat itu hampir setiap malam Bagus mengirimiku sms ataupun chat. Isinya tidak terlalu penting. Seputar menanyakan keadaan, walaupun begitu ujung-ujungnya akan menjadi seru karena celoteh-celoteh Bagus yang lucu. Sesekali dia juga menelpon. Tidak jarang kami jadi tidur larut karena itu. Aku merasa nyaman dengannya. Dan aku juga berhasil membuat Sherin mlongo beberapa detik ketika aku menceritakan  kejadian itu padanya beberapa waktu lalu. Dia benar-benar tidak percaya aku bisa berkenalan dengan orang yang selalu di anggap dingin dan angkuh itu. Sherin juga kaget ketika aku katakan bahwa Bagus adalah orang yang lucu. Untuk yang satu itu dia benar-benar tidak percaya, karena Sherin tak pernah sekalipun melihat Bagus tersenyum bahkan tertawa.
***
   Sore ini aku akan pergi menonton film dengan Bagus, Sherin dan Leon, berhubung besok adalah weekend kami berencana untuk menghabiskan malam ini dengan berjalan-jalan kemanapun. Walaupun kami saling ber-sms
   “Duh, anak mama mau kemana sih? Udah cantik aja.”
   “Hihi. Pritta mau nonton ma.” Jawabku sambil mengikat tali di bajuku.
   “Sama siapa, sayang?”
   “Cuma berempat ma. Ada Sherin sama Leon. Yang satu lagi teman baruku di sekolah namanya Bagus.”
   “Ya udah kamu jangan pulang malem-malem ya nanti. Handphone kamu jangan sampai mati biar mama gampang menghubungi kamu.”
   “Iya mama. Aku kan udah gede jadi mama ngga perlu khawatir lagi kok. Eh iya ma kayanya temen aku udah di depan deh. Aku jalan ya ma” Aku menyalami tangan mama sambil mencium pipinya.
   “Ya sayang hati-hati ya. Ingat pesan mama!” Suara mama agak dikeraskan saat ini.
   “Siap bos!” Teriakku sambil menutup pintu utama.
   Aku di jemput Bagus karena kami janjian bertemu Sherin dan Leon langsung di bioskop. Di perjalanan aku lebih banyak diam karena menikmati lagu yang di putar di playlist mobil Bagus. Bagus juga tidak banyak bicara, tapi sekali saja bicara pasti menggodaku seperti biasanya. Mungkin karena canggung, kita memang tak pernah bicara secara langsung lagi setelah seminggu yang lalu. Kami hanya bicara lewat telepon. Jika berpapasan kami cuma saling melempar senyum satu sama lain. Kali ini Bagus terlihat berbeda, dia mengenakan kaos dan celana pendek tetapi rambutnya tidak dijambul. Mungkin minyak rambutnya habis, tebakku dalam hati malas bertanya sedetail itu. Penampilannya memang tidak pernah rapi, dia selalu terlihat santai. Baju sekolahnya saja tak pernah di masukkan. Perjalanan ke bioskop terasa sangat lama karena macetnya kota Jakarta yang tak kunjung reda dan sudah menjadi rutinitas yang di hadapi oleh warganya, termasuk aku. Untung saja kami berangkat lebih awal dengan niat dapat menonton film yang sudah direncanakan.
   Sekitar satu setengah jam perjalan-sudah termasuk macet-kami sampai juga. Setelah memarkirkan kendaraan, kami menemui Sherin dan Leon yang katanya sudah di dalam. Dari jauh aku bisa melihat Sherin membawa beberapa buah tiket di tangan kanannya. Kami menghampiri Sherin dan Leon. Semuanya terlihat sangat cangung.
   “Hei Bang Ale. Makin sipit aja hihi.” Godaku pada Leon berusaha mencairkan suasana
   “Haha Pritta. Selalu itu yang lo lontarin kalau ketemu Abang Ale.”
   “Oh iya, Bang Ale ini Bagus temen gue di sekolah. Dan Bagus ini Leon sepupu gue. Pacarnya Sherin juga. Kalo Sherin udah kenal kan, Gus?” Aku coba mengenalkan Leon dengan Bagus
   Leon dan Bagus saling melempar senyum. Dan akhirnya saling menjabat tangan untuk memulai perkenalan. Aku masih melihat wajah canggung diantaranya. Oleh karena itu aku meminta mereka jalan beriringan dan aku jalan dengan Sherin. Mereka mulai berbicara pembicaraan laki-laki yang tak ku ketahui, dan malas untuk ku ketahui. Kami masuk ke dalam bioskop bersama-sama.
***
   Hubunganku dengan Bagus terus berlanjut hingga kini. Mungkin sudah sekitar satu bulan. Semuanya berubah. Kami semakin dekat dan aku merasa lebih istimewa. Aku yakin dia menyukaiku walaupun dia tak pernah mengatakannya. Hubungan kami selama ini tidak berjalan lancar-lancar saja. Banyak orang yang merasa patah hati dengan kedekatan kami, walau kami sering katakan bahwa kami hanyalah teman. Tapi tak ada yang menerimanya, termasuk Jessy. Jessy seorang gadis cantik dengan rambut panjang kecoklatan yang selalu digerai menutupi punggung, matanya bulat dan bibirnya mungil, sepintas dia mirip dengan boneka ditambah bibir merah dan hidung yang bagus, tubuhnyapun bagus. Benar-benar cantik, kalau di bandingkan denganku kami memang jauh berbeda. Jessy juga orang kaya, ayahnya adalah manager di sebuah perusahaan swasta. Siapa yang tak mengenal si cantik Jessy. Selain terkenal karena kecantikannya, Jessy juga terkenal karena sifat angkuhnya.
   Karena Jessy tak menyukai kedekatanku dengan Bagus dan merasa ia diabaikan oleh Bagus karenaku, beberapa waktu lalu ia sempat menghampiriku saat aku sedang menemani Sherin ke kamar mandi sekolah. Dia datang dengan dua orang temannya dengan muka marah.
  “Lo Pritta?” Ujarnya ketus padaku
   “Ya.”
   “Lo siapanya Bagus? Ganjen bener!”
   “Bukan siapa-siapa kok. Gue ngga ganjen sama dia. Kita Cuma temen. Emang kenapa?” Aku berusaha menahan amarahku.
   “Gue pacar Bagus yang baru!”
   Aku kaget mendengar ucapannya dan berusaha menenangkan diri. “Oh gitu. Ya udah”
   “Liat aja lo berani deketin cowo gue!” Dia mengacungkan telunjuknya di depan mukaku dan pergi meninggalkanku.
   Sherin keluar kamar mandi ketika Jessy sudah pergi, dan saat ku ceritakan kejadian barusan Sherin sempat geram pada Bagus karena hanya memberiku harapan palsu. Aku tak percaya dia setega itu padaku. Ternyata Bagus sama saja seperti laki-laki lainnya.
***
   Setelah kejadian di kamar mandi, aku tak mau menemui Bagus. Hingga akhirnya, suatu siang di depan sekolah Bagus menghampriku yang sedang menunggu Kang Sono, dia minta penjelasanku mengapa aku selalu menghindarinya. Awalnya aku malas menjawab, tapi karena ia memohon-mohon dan serentetan pasang mata menatap kami akupun luluh.
   “Ta, lo ngapa jauhin gue sih? Salah apa gue?”
   “Ngga.”
   “Ta, please ada apa? Gue bingung.”
   “Ngga ada apa-apa.”
   “Gue salah apa?” Kali ini Bagus menggenggam tanganku.
   Aku menarik tanganku, aku muak dengan sikapnya yang selalu baik padaku tapi ternyata semua tak ada artinya.
   “Ya ampun Ta. Lo kenapa dah?”
   “Ngga usah pura-pura baik sama gue!”
   “Maksudnya apa Ta?”
   “Lo udah jadian kan sama Jessy!” Kali ini nadaku agak keras.
   “Hah?” Suasana menjadi senyap beberapa detik, sebelum akhirnya.. “Hahahahahahahahahaha” Tawa Bagus meledak sekeras-kerasnya hingga orang-orang yang berada di halte-yang jaraknya sekitar dua meter dari kami-menoleh kepada kami.
   “Apaan sih lo! Ngga ada yang lucu.” Aku merasa sangat malu saat itu karena di lihat banyak orang.
   “Lo yang lucu. Hahaha.” Bagus belum juga menghentikan tawanya. “Duh sakit perut gue, Ta! Hahaha”
   “Serah lo!” Aku benar-benar marah padanya.
   “Oh jadi lo marah gara-gara itu? Lo cemburu ya?”
   “Iya lah!” Aku membisu beberapa saat sampai aku sadar bahwa aku keceplosan. Aku melihat ke arah Bagus. Tapi dia juga diam, tapi seulas senyum khas-senyum dengan kumis kucing-jelas terpampang di wajahnya. Tapi aku cepat-cepat memalingkan wajahku. Ingin rasanya aku melepas wajahku dan membuangnya jauh-jauh, rasanya sangat malu. Sepertinya dia tahu bahwa aku keceplosan dan sedang diliputi rasa malu sekarang.
   Kesunyian itu bertahan beberapa detik, cukup lama sebenarnya.
   “Ta.” Bagus memanggil namaku. Tapi kali ini kedengaran lebih lembut.
   Hatiku berdebar. Tapi aku hanya menoleh sebentar ke arahnya, tanpa menjawab. Bagus tidak tersenyum, wajahnya serius.
   Bagus memegang tanganku. Detak jantungku melewati ambang rata-rata. Mungkin suaranya terdengar hingga telinga Bagus. Tanganku dingin, aku bisa merasakan peluh mulai membasahi tanganku.
   Bagus melanjutkan ucapannya “Gini. Dari awal kita ketemu di kantin, waktu aku nabrak kamu semua terasa aneh, Ta. Setelah itu aku jadi pengen ketemu kamu lagi. Aku sering kok sengaja bolak-balik di depan kelasmu untuk ketemu kamu, tapi kamu nggak merhatiin kan? Sampai aku liat kamu duduk di lorong-di depan kantin, rasanya deg-degan. Awalnya aku ragu duduk di sampingmu, karena aku pikir kamu bakalan pergi. Tapi kamu malah ngasih aku botol minum. Kamu asyik. Setelah itu semua jadi bener-bener berubah. Aku suka kamu, Ta. Aku nyaman sama kamu. Kamu mau nggak jadi cewek aku?”
   Aku mematung seketika mendengar kata-kata Bagus. Benar-benar membisu dan tak tahu harus apa. Nafasku memburu semakin cepat dan dadaku berdebar keras sekali. Tidak sadar tanganku mencengkram tangan Bagus. Aku membalikkan badanku, menghadap Bagus. Berusaha menatap matanya, dan menjawab semua ucapannya tapi kata-kataku tak mau keluar. Lama sekali aku terdiam. Akhirnya aku mengangguk dan tersenyum padanya. Aku bisa lihat raut bahagia yang tak bisa ditutupi di wajahnya.

[To be continued...]
Ain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

http://dc100.4shared.com/img/1630434100/a97efa14/dlink__2Fdownload_2Fi1MqBrH-_3Ftsid_3D20130313-35301-2f246ef0/preview.mp3