Sudah seminggu berlalu semenjak kita berkenalan di lorong depan kantin. Dan sejak saat itu hampir setiap malam Bagus mengirimiku sms ataupun chat. Isinya tidak terlalu penting. Seputar menanyakan keadaan, walaupun begitu ujung-ujungnya akan menjadi seru karena celoteh-celoteh Bagus yang lucu. Sesekali dia juga menelpon. Tidak jarang kami jadi tidur larut karena itu. Aku merasa nyaman dengannya. Dan aku juga berhasil membuat Sherin mlongo beberapa detik ketika aku menceritakan kejadian itu padanya beberapa waktu lalu. Dia benar-benar tidak percaya aku bisa berkenalan dengan orang yang selalu di anggap dingin dan angkuh itu. Sherin juga kaget ketika aku katakan bahwa Bagus adalah orang yang lucu. Untuk yang satu itu dia benar-benar tidak percaya, karena Sherin tak pernah sekalipun melihat Bagus tersenyum bahkan tertawa.
***
Sore ini aku
akan pergi menonton film dengan Bagus, Sherin dan Leon, berhubung besok adalah
weekend kami berencana untuk menghabiskan malam ini dengan berjalan-jalan
kemanapun. Walaupun kami saling ber-sms
“Duh, anak mama
mau kemana sih? Udah cantik aja.”
“Hihi. Pritta
mau nonton ma.” Jawabku sambil mengikat tali di bajuku.
“Sama siapa,
sayang?”
“Cuma berempat
ma. Ada Sherin sama Leon. Yang satu lagi teman baruku di sekolah namanya
Bagus.”
“Ya udah kamu
jangan pulang malem-malem ya nanti. Handphone kamu jangan sampai mati biar mama
gampang menghubungi kamu.”
“Iya mama. Aku
kan udah gede jadi mama ngga perlu khawatir lagi kok. Eh iya ma kayanya temen
aku udah di depan deh. Aku jalan ya ma” Aku menyalami tangan mama sambil
mencium pipinya.
“Ya sayang
hati-hati ya. Ingat pesan mama!” Suara mama agak dikeraskan saat ini.
“Siap bos!”
Teriakku sambil menutup pintu utama.
Aku di jemput
Bagus karena kami janjian bertemu Sherin dan Leon langsung di bioskop. Di
perjalanan aku lebih banyak diam karena menikmati lagu yang di putar di
playlist mobil Bagus. Bagus juga tidak banyak bicara, tapi sekali saja bicara
pasti menggodaku seperti biasanya. Mungkin karena canggung, kita memang tak
pernah bicara secara langsung lagi setelah seminggu yang lalu. Kami hanya
bicara lewat telepon. Jika berpapasan kami cuma saling melempar senyum satu
sama lain. Kali ini Bagus terlihat berbeda, dia mengenakan kaos dan celana
pendek tetapi rambutnya tidak dijambul. Mungkin
minyak rambutnya habis, tebakku dalam hati malas bertanya sedetail itu.
Penampilannya memang tidak pernah rapi, dia selalu terlihat santai. Baju
sekolahnya saja tak pernah di masukkan. Perjalanan ke bioskop terasa sangat
lama karena macetnya kota Jakarta yang tak kunjung reda dan sudah menjadi
rutinitas yang di hadapi oleh warganya, termasuk aku. Untung saja kami berangkat
lebih awal dengan niat dapat menonton film yang sudah direncanakan.
Sekitar satu
setengah jam perjalan-sudah termasuk macet-kami sampai juga. Setelah
memarkirkan kendaraan, kami menemui Sherin dan Leon yang katanya sudah di
dalam. Dari jauh aku bisa melihat Sherin membawa beberapa buah tiket di tangan
kanannya. Kami menghampiri Sherin dan Leon. Semuanya terlihat sangat cangung.
“Hei Bang Ale.
Makin sipit aja hihi.” Godaku pada Leon berusaha mencairkan suasana
“Haha Pritta.
Selalu itu yang lo lontarin kalau ketemu Abang Ale.”
“Oh iya, Bang
Ale ini Bagus temen gue di sekolah. Dan Bagus ini Leon sepupu gue. Pacarnya
Sherin juga. Kalo Sherin udah kenal kan, Gus?” Aku coba mengenalkan Leon dengan
Bagus
Leon dan Bagus
saling melempar senyum. Dan akhirnya saling menjabat tangan untuk memulai
perkenalan. Aku masih melihat wajah canggung diantaranya. Oleh karena itu aku
meminta mereka jalan beriringan dan aku jalan dengan Sherin. Mereka mulai
berbicara pembicaraan laki-laki yang tak ku ketahui, dan malas untuk ku
ketahui. Kami masuk ke dalam bioskop bersama-sama.
***
Hubunganku
dengan Bagus terus berlanjut hingga kini. Mungkin sudah sekitar satu bulan.
Semuanya berubah. Kami semakin dekat dan aku merasa lebih istimewa. Aku yakin
dia menyukaiku walaupun dia tak pernah mengatakannya. Hubungan kami selama ini
tidak berjalan lancar-lancar saja. Banyak orang yang merasa patah hati dengan
kedekatan kami, walau kami sering katakan bahwa kami hanyalah teman. Tapi tak
ada yang menerimanya, termasuk Jessy. Jessy seorang gadis cantik dengan rambut
panjang kecoklatan yang selalu digerai menutupi punggung, matanya bulat dan
bibirnya mungil, sepintas dia mirip dengan boneka ditambah bibir merah dan
hidung yang bagus, tubuhnyapun bagus. Benar-benar cantik, kalau di bandingkan
denganku kami memang jauh berbeda. Jessy juga orang kaya, ayahnya adalah
manager di sebuah perusahaan swasta. Siapa yang tak mengenal si cantik Jessy.
Selain terkenal karena kecantikannya, Jessy juga terkenal karena sifat
angkuhnya.
Karena Jessy tak
menyukai kedekatanku dengan Bagus dan merasa ia diabaikan oleh Bagus karenaku,
beberapa waktu lalu ia sempat menghampiriku saat aku sedang menemani Sherin ke
kamar mandi sekolah. Dia datang dengan dua orang temannya dengan muka marah.
“Lo Pritta?”
Ujarnya ketus padaku
“Ya.”
“Lo siapanya
Bagus? Ganjen bener!”
“Bukan
siapa-siapa kok. Gue ngga ganjen sama dia. Kita Cuma temen. Emang kenapa?” Aku
berusaha menahan amarahku.
“Gue pacar Bagus
yang baru!”
Aku kaget
mendengar ucapannya dan berusaha menenangkan diri. “Oh gitu. Ya udah”
“Liat aja lo
berani deketin cowo gue!” Dia mengacungkan telunjuknya di depan mukaku dan
pergi meninggalkanku.
Sherin keluar
kamar mandi ketika Jessy sudah pergi, dan saat ku ceritakan kejadian barusan
Sherin sempat geram pada Bagus karena hanya memberiku harapan palsu. Aku tak
percaya dia setega itu padaku. Ternyata Bagus sama saja seperti laki-laki
lainnya.
***
Setelah kejadian
di kamar mandi, aku tak mau menemui Bagus. Hingga akhirnya, suatu siang di
depan sekolah Bagus menghampriku yang sedang menunggu Kang Sono, dia minta
penjelasanku mengapa aku selalu menghindarinya. Awalnya aku malas menjawab,
tapi karena ia memohon-mohon dan serentetan pasang mata menatap kami akupun
luluh.
“Ta, lo ngapa jauhin
gue sih? Salah apa gue?”
“Ngga.”
“Ta, please ada
apa? Gue bingung.”
“Ngga ada
apa-apa.”
“Gue salah apa?”
Kali ini Bagus menggenggam tanganku.
Aku menarik
tanganku, aku muak dengan sikapnya yang selalu baik padaku tapi ternyata semua
tak ada artinya.
“Ya ampun Ta. Lo
kenapa dah?”
“Ngga usah
pura-pura baik sama gue!”
“Maksudnya apa
Ta?”
“Lo udah jadian
kan sama Jessy!” Kali ini nadaku agak keras.
“Hah?” Suasana
menjadi senyap beberapa detik, sebelum akhirnya.. “Hahahahahahahahahaha” Tawa
Bagus meledak sekeras-kerasnya hingga orang-orang yang berada di halte-yang
jaraknya sekitar dua meter dari kami-menoleh kepada kami.
“Apaan sih lo!
Ngga ada yang lucu.” Aku merasa sangat malu saat itu karena di lihat banyak
orang.
“Lo yang lucu.
Hahaha.” Bagus belum juga menghentikan tawanya. “Duh sakit perut gue, Ta!
Hahaha”
“Serah lo!” Aku
benar-benar marah padanya.
“Oh jadi lo
marah gara-gara itu? Lo cemburu ya?”
“Iya lah!” Aku
membisu beberapa saat sampai aku sadar bahwa aku keceplosan. Aku melihat ke
arah Bagus. Tapi dia juga diam, tapi seulas senyum khas-senyum dengan kumis
kucing-jelas terpampang di wajahnya. Tapi aku cepat-cepat memalingkan wajahku.
Ingin rasanya aku melepas wajahku dan membuangnya jauh-jauh, rasanya sangat
malu. Sepertinya dia tahu bahwa aku keceplosan dan sedang diliputi rasa malu
sekarang.
Kesunyian itu
bertahan beberapa detik, cukup lama sebenarnya.
“Ta.” Bagus
memanggil namaku. Tapi kali ini kedengaran lebih lembut.
Hatiku berdebar.
Tapi aku hanya menoleh sebentar ke arahnya, tanpa menjawab. Bagus tidak
tersenyum, wajahnya serius.
Bagus memegang
tanganku. Detak jantungku melewati ambang rata-rata. Mungkin suaranya terdengar
hingga telinga Bagus. Tanganku dingin, aku bisa merasakan peluh mulai membasahi
tanganku.
Bagus
melanjutkan ucapannya “Gini. Dari awal kita ketemu di kantin, waktu aku nabrak
kamu semua terasa aneh, Ta. Setelah itu aku jadi pengen ketemu kamu lagi. Aku
sering kok sengaja bolak-balik di depan kelasmu untuk ketemu kamu, tapi kamu
nggak merhatiin kan? Sampai aku liat kamu duduk di lorong-di depan kantin,
rasanya deg-degan. Awalnya aku ragu duduk di sampingmu, karena aku pikir kamu
bakalan pergi. Tapi kamu malah ngasih aku botol minum. Kamu asyik. Setelah itu
semua jadi bener-bener berubah. Aku suka kamu, Ta. Aku nyaman sama kamu. Kamu
mau nggak jadi cewek aku?”
Aku mematung seketika mendengar kata-kata
Bagus. Benar-benar membisu dan tak tahu harus apa. Nafasku memburu semakin
cepat dan dadaku berdebar keras sekali. Tidak sadar tanganku mencengkram tangan
Bagus. Aku membalikkan badanku, menghadap Bagus. Berusaha menatap matanya, dan
menjawab semua ucapannya tapi kata-kataku tak mau keluar. Lama sekali aku
terdiam. Akhirnya aku mengangguk dan tersenyum padanya. Aku bisa lihat raut
bahagia yang tak bisa ditutupi di wajahnya.
[To be continued...]
Ain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar