“To live a creative life we must lose our fear of being wrong. Thank you for visit "Catatan Ain". I hope you can find what you want. -Ain-

Minggu, 28 September 2014

Human lyric

Human
by Christina Perri

I can hold my breath
I can bite my tongue
I can stay awake for days
If that's what you want
Be your number one

I can fake a smile
I can force a laugh
I can dance and play the part
If that's what you ask
Give you all I am

I can do it
I can do it
I can do it

But I'm only human
And I bleed when I fall down
I'm only human
And I crash and I break down
Your words in my head, knives in my heart
You build me up and then I fall apart
'Cause I'm only human

I can turn it on
Be a good machine
I can hold the weight of worlds
If that's what you need
Be your everything

I can do it
I can do it
I'll get through it

But I'm only human
And I bleed when I fall down
I'm only human
And I crash and I break down
Your words in my head, knives in my heart
You build me up and then I fall apart
'Cause I'm only human

I'm only human
I'm only human
Just a little human

I can take so much
'Til I've had enough

'Cause I'm only human
And I bleed when I fall down
I'm only human
And I crash and I break down
Your words in my head, knives in my heart
You build me up and then I fall apart
'Cause I'm only human

Rabu, 03 September 2014

Still You #2

   Benar saja! Orang yang menabrakku di kantin kemarin adalah anak baru itu, dan ternyata namanya Bagus. Dia sudah menjadi terkenal sekarang, setiap sudut sekolah pasti tahu siapa Bagus. Padahal ia baru saja 3 hari di sekolah ini. Ketampanannya membuat setiap cewek di sekolah terkagum-kagum. Terlebih lagi katanya ia pintar bermain basket. Tapi kesombongannya membuat para laki-laki di sekolah enggan untuk menjadi temannya. Itulah sebabnya ia menjadi pasif, walaupun banyak cewek yang menyukainya.
   Pelajaran Bahasa Inggris siang ini sungguh membosankan. Pak Rahmat yang tidak berhenti mengoceh dengan bahasa asing yang tak terdengar begitu jelas dengan suara khasnya yang kecil dan agak cempreng sukses mengundang kantukku. Entahlah mengapa hari ini begitu membosankan bagiku. Tidak seperti hari-hari kemarin. Tidak tahu sudah berapa batang isi pensil mekanik yang aku habiskan dalam satu mata pelajaran ini. Aku mencoret-coret bagian belakang buku catatanku. Tanpa ku sadari Sherin memperhatikanku diam-diam.
   “Heh lo kenapa sih?” Bisiknya
   “Gue bete, Sher si botak ngomong mulu daritadi. Ngantuk gue.”
   “Hihihi. Tumben lo.” Sherin cekikikan
   “Iya gatau nih hari ini bete banget gue. Udah ah gue mau ke wc Sher.”
   “Yeee dasar nih anak bule tapi sama bahasa inggris ga demen.”
   "Gue Pakistan, Sher please deh ngga pake bahasa inggris.”
   Iya. Ayahku  memang keturunan Pakistan-Indonesia. Jadi saja wajahku ini sedikit mirip bule. Padahal menurutku hidungku tidak mancung-mancung amat dan rambutku juga tidak pirang. Tapi, setiap bertemu orang baru mereka akan tahu bahwa aku adalah keturunan luar.
   Setelah berhasil meninggalkan kelas dengan alasan ingin ke kamar mandi, aku melihat jam tangan bermotif bunga-bunga yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku. Tinggal 15 menit lagi mata pelajaran si botak-Pak Rahmat-akan habis disusul jam istirahat kedua. Ku putuskan setelah ke kamar mandi, untuk langsung menuju kantin. Agar aku kebagian makanan dan tidak berdesak-desakkan dengan siswa lainnya-seperti pemandangan dua hari lalu.
   Dari kejauhan aku dapat melihat ada seseorang yang sudah tak asing lagi duduk di meja panjang depan kantin, sendirian. Bagus. Ngapain anak baru itu nongkrong disana, bukannya ini masih jam pelajaran. Dan sebelumnya aku tidak dengar suara bel istirahat, batinku. Entah mengapa aku menjadi penasaran dan peduli kepada orang yang sudah menabrakku tempo lalu. Kontan saja aku menepuk jidatku karena merasa bodoh. Tak sadar aku menepukkunya terlalu keras sehingga aku mengaduh sendiri. Aku berjalan menuju kantin sambil memegang jidatku-seperti habis menabrak tiang- tak peduli dengan seseorang yang sedang duduk disana. Sebenarnya aku peduli. Karena aku sempat melirik sedikit ke arahnya saat lewat di depannya, dia sedang memainkan iPod. Huh dasar sok cool ngapain sih make-make earphone gitu, batinku lagi.
   Aku memesan mie ayam. Sambil menunggu, aku masih melirik ke arah luar, ke arah meja panjang di depan kantin. Dia masih disana dengan iPod dan earphonenya, tapi kali ini dia memejamkan matanya mungkin sedang menikmati lagu yang dia dengarkan. Duuuuh! Kok aku jadi peduli gini sih sama dia! Pesananku siap dan seperti berjanjian bel istirahat berbunyi. Aku mengeluarkan ponsel dari saku jaket rajutanku, aku mengirimi Sherin pesan memberitahukan bahwa aku menyasar di kantin dan meminta dia untuk datang menemaniku makan mie ayam.
***
   “Duh Priiiit lo liat ga tadi si Bagus senyumin gue! Tadi pas di kantin pas kita makan mie ayam.” Ujar Sherin dengan wajah berbunga-bunga dan senyum yang di buat semanis mungkin olehnya.
   “Nama gue Pritta!” Jawabku ketus. Lagi-lagi Sherin salah memanggilku. Huuuft.
   “Hihi iya iya Pritta gue lagi seneng banget tau ngga! Lo sih tadi ngga liat. Huh.” Sherin masih senyum-senyum sendiri dengan wajah berbunga-bunga yang tidak bisa di sembunyikan.
   “Iya gue tau, Sher. Gue udah denger ratusan kali lo ngomong kaya gitu setelah kita balik dari kantin tadi!” Aku menjawab Sherin dengan malas.
  “Ih lo kenapa sih? Gue kan lagi seneng. Lo ngga suka gue seneng?”
   “Dih apaan sih Sher. Gue cape tau ga liat senyum lo tuh yang sok-sok manis kaya gitu. Lagian kan lo udah punya Leon. Ngapain lo masih aja seneng di senyumin tuh anak baru. Sebel gue. Inget ya sepupu gue tuh sayang banget sama lo. Jangan disakitin kek!”
   Iya pacar Sherin memang sepupuku. Namanya Leon. Mahasiswa ekonomi semester dua sebuah universitas swasta di Bandung. Ya, mereka memang menjalani hubungan jarak jauh. Dan hanya bisa bertemu seminggu sekali. Itupun kalau Leon tidak sibuk, kalaupun Leon sibuk Sherin yang datang mengunjunginya ke Bandung. Menurutku masih jauh lebih baik Leon di bandingkan anak baru itu. Bukan karena dia sepupuku. Leon adalah anak yang baik dan pintar, dia juga ganteng, matanya sipit memakai kacamata dan kulitnya putih, badannya juga tinggi dan berbentuk. Tidak seperti anak baru itu, badannya seperti tiang dan rambutnya juga tidak rapi bahkan dia juga sombong, banyak orang yang tidak suka.
   “Iya deh maafin gue ya Priiit. Abis dia kan banyak yang suka jadi gue jadi gimana gitu deh di senyumin sama dia. Gue ngga punya perasaan apa-apa kok.” Ujar Sherin dengan manja.
   Aku mencoba menenangkan hatiku. Dia memanggilku seperti suara peluit polisi, lagi. Aku coba tidak marah soal itu. “Awas ya lo nyakitin sepupu gue, Sher.”
   “Iya gue janji ga akan nyakitin Leonardo Tjandrawinata sepupu Abelina Prittantia Suroso.” Ucap Sherin sambil mengacungkan jari kelingking mungilnya. Aku mengaitkan kelingkingku di kelingkingnya. Dan kami sama-sama tersenyum. Akhirnya jemputan kami datang berbarengan.
   “Bye Priiiiiit. Hihi.” Teriak Sherin dari kaca mobilnya.
   Aku tidak menjawab, karena aku malu berteriak-teriak seperti itu di depan umum. Lambaian tanganku pada Sherin sebagai pertanda aku menjawab teriakannya. Sherin tidak marah ataupun kecewa, karena dia tahu aku malu.

[To be continued..]
Ain

I can yes I can kok

Ya Allah berikan Ain kekuatan
Kalau bisa kekuatan super
Untuk melewati semua ini
Semua cobaan yang Engkau berikan ini
Ain tahu bahwa ini bukan cobaan yang berat kan, ya Allah?
Sehingga Allah memberikan cobaan ini
Ya Allah buatlah Ain bisa menjaga perasaan orang lain
Buatlah Ain mengerti cara bersyukur
Buatlah Ain tidak bosan melewati ini
Buatlah Ain mengerti hikmah di balik semua ini
Maafkan jika Ain suka mengeluh selama ini ya Allah

Ain

Selasa, 02 September 2014

Still You #1

   Tuhan, aku ingin sembuh.
   “Ku baca tulisan itu di dalam note ponselmu. Air mataku sudah tak bisa tertahan lagi, memaksa keluar dari pelupuk mataku. Tak sadar air berlinang di pipiku. Memoriku tentangmu sekelibat melintasi otakku. Tawamu jelas mengiang di telingaku. Air mataku semakin deras menetes. Hatiku sakit sekali mengingatmu. Tak ada carakah yang bisa aku lakukan untuk menghadapi ini? Mengapa kamu tega padaku? Aku belum cukup mengenalmu, tapi kamu sudah pergi.”
***
   Kriiiiiing...Kriiiiiiing
   Suara jam weker yang bertengger tepat di depan wajahku benar-benar sukses membuatku terperanjat. Ku lihat jarum jam terpendek dengan tatapan serius karena penglihatanku belum fokus saat baru bangun seperti ini. Seketika mataku membelalak layaknya ingin loncat. Jam menunjukkan pukul 7.40 wib. Dan itu artinya sekolahku di mulai 20 menit lagi, tapi nyatanya aku masih ada di atas tempat tidur saat ini. Entah memakai jurus apa dengan sigap aku menyambar handuk dan segera masuk kamar mandi. Untung saja di dalam kamarku sengaja disediakan kamar mandi. Sebab orang tuaku malas bergantian kamar mandi denganku katanya saat mandi aku seperti putri solo.
   Seperti biasanya, aku diantar Kang Sono ke sekolah. Kang Sono adalah supir pribadi orang tuaku. Dengan perawakan tambun dan kulit sedikit gelap ditambah kumis tebalnya, Kang Sono bisa merangkap sebagai bodyguard buatku. Awalnya Kang Sono adalah satpam di kantor Ayah, tetapi ia berhenti kerja karena istrinya di kampung akan melahirkan. Setelah beberapa minggu pulang ke kampung, Kang Sono kembali lagi ke tempatnya bekerja tetapi posisinya sudag tergantikan oleh satpam yang baru. Padahal saat ini, ia sangat membutuhkan uang untuk biaya persalinan sang istri. Karena iba, ayah memperkerjakannya sebagai satpam pribadi bagi keluarga hingga saat ini. Aku punya beberapa cerita bersama Kang Sono. Seperti contohnya dua minggu yang lalu, saat aku akan pergi ke toko buku bersama Kang Sono, ada beberapa kumpulan anak laki-laki yang berpenampilan garang menghampiriku yang baru keluar dari mobil. Mereka menggangguku, tetapi dengan sigap Kang Sono keluar dan menghardik mereka dan alhasil mereka lari ketakutan. Padahal selama hidupnya Kang Sono tidak pernah memukul orang sekalipun tetapi berkat badannya semua orang menjadi segan padanya. Tapi, kali ini bukan ceritaku dan Kang Sono yang aku bahas. Melainkan ceritaku bersama orang yang menggagumkan yang selalu membuat hatiku berdebar.
***
   “Priiiiit!”
   Suara yang tidak asing lagi bagiku. Suara yang selalu memekakkan telinga. Siapa lagi kalau bukan Sherin, sahabatku dari SD.
   “Apaan sih, Sher? Bisa ngga sih lo kalau manggil tuh yang bener dikit. Nama gue Pritta!”
   Aku sangat benci saat orang-orang memanggil namaku setengah-setengah, seperti Sherin yang selalu memanggilku dengan sebutan ‘Prit’ seperti seorang polisi yang meniup peluitnya.
   “Haha sorry lah, Prit eh maksud gue Pritta cantik hihi. Gue mau pulang bareng aja sama lo ntar. Bisa kan? Abang gue ngga bisa jemput hehe”
   “Ah lo mah gue pikir ada berita heboh apaan!” Jawabku sedikit ketus.
   Aku berjalan melewati lorong panjang bersama Sherin menuju parkiran, mendengarkan cerita-ceritanya bersama kekasih barunya. Cewek imut yang selalu menguncir rambut ini memang cerewet sejak SD. Tidak heran, karena ia mempunyai dua buah tahi lalat di dekat bibirnya. Dan kini kami masih sekolah di SMA yang sama walaupun sempat beda kelas tapi kami ngotot untuk dipindahkan di kelas yang sama. Bagiku Sherin ini penghibur bagiku saat aku sedang merasa sedih. Dia semacam moodbooster bagiku.

   “Eh, Prit! Lo tau nggak?”
   “Nama gue Pritta! Kenapa?”
   “Iya iya PRITTA! Ada anak baru di kelas IPA 2. Cowok. Ganteng banget katanya. Tapi pasif gitu anaknya.” Ujar Sherin dengan mata yang di lebar-lebarkan
   “Ah gosip aja lo! Lo udah liat anaknya?”
   “Udah! Dan bener aja ganteng banget!”
   “Lo naksir ya? Ih lo kan udah punya pacar, Sher” Ucapku menggoda sahabatku ini.
   “Ah rese lo! Engga! Gue ngga naksir!”
   “Hahahaha”
   Tawaku meledak karena sukses mengerjainya sekaligus melihat muka Sherin menjadi memerah. Obrolan kecil kami di dalam mobil pun berlanjut  hingga tiba di depan rumah berpagar kayu coklat.
   “Daaaa. Thanks ya Priiiiit! Hihi. Besok lo kudu liat tuh cowo. Titik! Makasih juga Kang Sono. Bye!” Teriak Sherin sambil menutup pintu mobil. Aku hanya bisa membenamkan wajah kesalku karena panggilan Sherin barusan.
   Setelah sekolah berakhir, aku kembali ke rumah. Dan hidpuku berjalan seperti biasanya sebagai anak tunggal. Tidak ada yang istimewa di dalam rumah besar yang selalu ditinggalkan karena orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan.
***
   Hari ini kantin sekolahku terlihat begitu ramai. Di mana-mana orang berdesak-desakkan ingin membeli makanan. Aku melihatnya saja sudah lelah, jadi aku putuskan untuk berdiri di depan kantin dengan tangan di silangkan di dada dan mulut sedikit manyun, inilah tandanya jika aku sedang kesal. Bagaimana tidak, pagi ini aku tidak sempat sarapan apalagi menyiapkan bekal. Aku bangun kesiangan lagi. Padahal sekolahku ini adalah salah satu sekolah favorit di Jakarta Pusat tetapi servicenya sama saja seperti pasar. Saat sedang asik dengan kekesalanku mengenai kantin, ada seseorang yang menabrakku dari belakang. Kontan rasa kesalku memuncak. Dengan sigap aku membalikkan badan dan mebentaknya.
   “Kalau jalan hati-hati dong!”
   Aku sedikit terkejut setelah melihat wajahnya. Seorang laki-laki tinggi, berkulit putih dan rambut yang sengaja ditata seperti jambul, ia memakai sweater biru laut dan sebuah earphone tergantung di kuping dan lehernya. Dia sangat cool. Ia terlihat asing bagiku. Dalam hatiku aku bertanya Siapakah orang ini? Aku tidak pernah melihatnya selama tiga tahun aku bejar disekolah ini. Apakah dia anak baru yang Sherin ceritakan?

   “Sorry.” Jawabnya dengan tatapan sinis dan kembali berjalan menjauhiku. Hingga aku hanya dapat menatap punggungnya saja yang semakin jauh hilang di tengah keramaian.


[To be continued..]
Ain
Semoga langgeng!
http://dc100.4shared.com/img/1630434100/a97efa14/dlink__2Fdownload_2Fi1MqBrH-_3Ftsid_3D20130313-35301-2f246ef0/preview.mp3